Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan agar Jabatan Kapolri Dijadikan Setingkat Menteri
JAKARTA, RakyatRepublika – MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang meminta jabatan Kapolri diposisikan setingkat menteri. Putusan itu dibacakan dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025, Kamis, 13 November 2025.
Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Mahkamah menolak permohonan para pemohon dan dalam pokok perkara menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo di ruang sidang pleno MK, Jakarta.
Permohonan ini diajukan oleh Sukur Desteli Gulo, Kristian Adriano Sihite, dan Devita Ana Lisandra. Mereka mempersoalkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Polri yang dianggap tidak memberikan kejelasan mengenai masa jabatan dan mekanisme pemberhentian Kapolri. Para pemohon menilai jabatan Kapolri seharusnya setingkat menteri dan berakhir bersamaan dengan masa jabatan presiden serta anggota kabinet.
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Kepolisian menyebutkan “usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” Dalam permohonannya, para pemohon menilai frasa “disertai dengan alasannya” dalam pasal tersebut tidak dijabarkan lebih lanjut, atau setidaknya tidak dirumuskan secara tegas dalam UU Polri.
Akibatnya, menurut para pemohon, ketentuan itu menimbulkan persoalan nyata, yakni posisi Kapolri saat ini, Listyo Sigit Prabowo, dianggap tidak sah karena belum kembali diangkat oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum. Hakim Arsul Sani menjelaskan pembentuk undang-undang sejak awal telah menolak gagasan memosisikan Kapolri setingkat menteri dalam pembahasan UU Polri pada 2002. “Tidak terdapat frasa ‘setingkat menteri’ dalam UU Polri. Pembentuk undang-undang memilih menegaskan bahwa Kapolri merupakan perwira tinggi aktif, bukan anggota kabinet,” ujar Arsul.
Menurut MK, memberi label setingkat menteri kepada Kapolri justru akan mengaburkan posisi Polri sebagai alat negara. Mahkamah menilai, jika Kapolri ditempatkan sejajar dengan menteri, kepentingan politik presiden akan lebih dominan dalam menentukan posisi Kapolri.
“Padahal secara konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang harus menempatkan kepentingan hukum dan masyarakat di atas kepentingan politik,” tutur Asrul.
Mahkamah juga menegaskan, jabatan Kapolri merupakan jabatan karier profesional yang tidak memiliki masa jabatan periodik seperti menteri. Kapolri dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi presiden sesuai peraturan perundang-undangan.
“Dengan demikian, dalil para pemohon yang meminta jabatan Kapolri disamakan dengan menteri adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Asrul.
Putusan ini sekaligus memposisikan Kapolri tetap sebagai pejabat negara yang memimpin institusi kepolisian, bukan bagian dari kabinet. MK menilai, perubahan status jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri justru berpotensi mereduksi independensi Polri sebagai alat negara penegak hukum. (*)