Mengungkap Fakta Dibalik Berita

Ketidakmampuan Prabowo dan Bubarnya Republik

Oleh, Oleh Buni Yani

 

KOLOM PEMBACA-OPINI, RakyatRepublika – Rakyat dibuat terkejut luar biasa mengikuti perkembangan politik pekan ini. Setelah Prabowo dengan terang benderang membela dan melindungi Jokowi dalam kasus Whoosh dan eksistensi “guru” politiknya itu karena terus “dikuyo-kuyo”, keesokan harinya Polda Metro Jaya menetapkan delapan tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dan ijazah Jokowi.

Entah dua kejadian ini punya hubungan satu sama lain, memang sulit dan hampir mustahil dibuktikan oleh orang awam. Tetapi publik sangat yakin bahwa penetapan Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma, dan lima aktivis lainnya itu berkaitan dengan pembelaan Prabowo yang tanpa reserve kepada Jokowi. Pembelaan ini disebut-sebut sebagai amunisi yang menambah keyakinan polisi untuk tanpa ragu mentersangkakan kedelapan aktivis yang dilaporkan Jokowi itu.

Setelah berbulan-bulan dipenuhi keraguan ke mana gerangan arah angin politik presiden, akhirnya kepolisian yang masih dipimpin oleh Listyo Sigit—sekutu dan pelindung utama Jokowi dalam kasus hukum—berani bertindak dengan mengambil keputusan final. Polda Metro Jaya tidak lagi kelihatan gamang seperti dalam hampir enam bulan ini.

Poin dari keprihatinan publik sangatlah jelas. Sekecil apa pun tindakan pemimpin akan dijadikan rujukan oleh bawahan. Praktik seperti ini lazim terjadi di negara-negara dengan budaya patriarki di mana atasan menjadi pusat gravitasi di dalam organisasi. Pimpinan dianggap panutan yang harus diikuti dalam segala hal.

Jadi, Prabowo sebagai presiden seharusnya sangat berhati-hati jika menyangkut kasus hukum. Dia harus obyektif dan tidak berpihak. Prabowo seharusnya tidak gampang membuat pernyataan yang bisa ditafsirkan secara salah oleh para penegak hukum. Prabowo mestinya mendorong penegakan hukum yang berkeadilan bagi setiap warga negara berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum.

Tapi sekarang nasi sudah jadi bubur. Lisan Prabowo dianggap berperan besar memicu polisi melakukan tindakan yang dianggap di luar wilayah hukum. Kerusakan telah terjadi, dan ini adalah preseden hukum yang akan diikuti oleh tindakan yang kurang lebih sama dalam empat tahun ke depan pemerintahan Prabowo.

Kritik publik ke Prabowo menyangkut kasus Jokowi terletak pada kurang bahkan tidak adanya pemahaman Prabowo yang benar mengenai persoalan berbangsa dan bernegara. Sejak tidak lagi menjabat, Jokowi dikejar tanpa henti oleh berbagai kasus hukum. Mulai dari kasus ijazah palsu sampai kasus korupsi. Alih-alih membekukan dan menutup kasus-kasus itu, seharusnya Prabowo mendukung penegak hukum untuk bekerja dengan baik.

BACA JUGA  Usai Lawatan ke Mesir, Tiba di Tanah Air Presiden Prabowo Langsung Melakukan Rapat Terbatas

Kasus pertama yang mendera Jokowi adalah kasus dugaan korupsi di proyek kereta cepat Whoosh. Ekonom dan pengamat sangat yakin terjadi penggelembungan anggaran dalam proyek ini karena mahalnya biaya yang dipakai bila dibandingkan dengan proyek sejenis di Cina dan Saudi. Tidak mungkin tidak ada korupsi bila harga Whoosh jauh lebih mahal berkali lipat dibandingkan dengan di kedua negara itu.

Kasus kedua adalah tuduhan ijazah palsu yang dimiliki oleh Jokowi. Karena berbagai macam keanehan pada ijazah Jokowi itu, maka Roy Suryo dkk sangat yakin bahwa ijazah Jokowi memang palsu adanya. Roy Suryo dkk melakukan penelitian selama berbulan-bulan yang dituangkan dalam buku Jokowi’s White Paper (2025) dan menunjukkan bahwa ijazah Jokowi tidak mungkin asli keluaran UGM.

Oleh karena masifnya dugaan kejahatan Jokowi selama 10 tahun berkuasa, maka kalangan akademisi terpacu untuk membuktikannya. Yang dilakukan para akademisi ini adalah hanya melengkapi saja laporan OCCRP yang menempatkan Jokowi sebagai salah satu manusia paling korup di atas bumi.

Prabowo lalu tidak bisa menerima kenyataan ini. Prabowo mengatakan Jokowi itu “hopeng” (teman) dia, dan menunjukkan ketidaksukaannya bila Jokowi terus-menerus “dikuyo-kuyo” oleh masyarakat. Dalam pidato yang mengejutkan itu Prabowo menunjukkan bahwa dia memang bertindak sebagai pelindung Jokowi.

Prabowo pun langsung mengumumkan dia mengambil alih persoalan utang Whoosh yang disebut default itu karena kondisi keuangannya yang sangat buruk. Prabowo mengatakan dia telah mempelajari persoalannya. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mempelajari bagaimana cara menyelesaikan utang ke Cina sebagai pemberi utang. Disebutkannya, uang pembayaran akan diambilkan dari uang yang disita dari para koruptor.

Perlu diketahui Presiden Prabowo, tidak seorang pun ingin mengkuyo-kuyo Jokowi, “guru pilitik”-nya itu. Rakyat Indonesia tidak sejahat yang dibayangkannya. Bila tidak ada indikasi yang sangat kuat bahwa Jokowi memang telah melakukan kejahatan, maka rakyat—yang sebagian di antaranya adalah para akademisi kampus yang terbiasa berpikir independen dan obyektif—tidak akan secara serampangan memburu kasus-kasus Jokowi.

BACA JUGA  Breaking News! Pakar Telematika Roy Suryo Cs Ditetapkan Tersangka Kasus Fitnah Ijazah Jokowi

Tidak ada persoalan pribadi dalam kasus ini. Ini murni persoalan penegakan kebenaran dan keadilan dalam rangka memperbaiki bangsa dan negara yang 10 tahun telah dirusak oleh Jokowi secara brutal. Apa yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, dan peneliti murni untuk memulihkan kerusakan yang telah dibuat Jokowi.

Tragedi ini memicu ingatan lama mengenai miskinnya pemahaman Prabowo akan demokrasi. Prabowo sebelumnya sempat menyebut sistem demokrasi “sangat melelahkan, sangat berantakan, dan mahal” yang menimbulkan kekhawatiran serius. Komentar ini ditakutkan menjadi sinyal keinginan Prabowo untuk membatasi keterlibatan publik dalam mengontrol pemerintahan—yang kelihatannya mulai terwujud dalam beberapa hari ini.

Upaya Prabowo merangkul hampir semua kekuatan politik ke dalam koalisinya, yang berpotensi menciptakan pemerintahan tanpa oposisi yang efektif, dikhawatirkan melemahkan fungsi pengawasan checks and balances. Ini dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang sehat, yang ia warisi dari Jokowi.

Prabowo mengajak masyarakat untuk mengadopsi “demokrasi khas Indonesia” yang mengedepankan persatuan, musyawarah, dan gotong royong daripada konflik atau perpecahan yang berkepanjangan. Ia berpendapat bahwa tujuan akhir demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, sesuai amanat UUD 1945.

Pernyataan lama Prabowo itu sangat terkait dengan pembelaannya pada Jokowi sekarang ini. Kira-kira Prabowo ingin mengatakan, sudahlah, yang sudah biarkanlah berlalu. Kita menatap masa depan dan harus memaafkan Jokowi karena Jokowi punya jasa. Pernyataan ini tentu sangat berbahaya karena menafikan kejahatan Jokowi selama 10 tahun berkuasa.

Cara berpikir ini menunjukkan Prabowo tidak paham dan tidak mampu menjalankan tugas sebagai presiden. Semua kebaikan harus dihargai, tetapi sebaliknya, semua kejahatan harus diganjar dengan hukuman. Semua rakyat, termasuk Jokowi, sama di depan hukum, tanpa terkecuali.

Maka bila Prabowo tidak mengubah mindset-nya dalam melihat negara dan warga negara, maka Indonesia memang terancam bubar pada 2030, atau bahkan lebih cepat dari itu. Ramalan ini diucapkan sendiri oleh Prabowo yang seharusnya dia lawan setelah menjadi presiden. Bukan malah mewujudkannya. (*)

*(Buni Yani, peneliti media, budaya, dan politik Asia Tenggara