Mengungkap Fakta Dibalik Berita

KPU Terikat Putusan PTUN, OSO Harus Masuk DCT

JAKARTA, rakyatrepublika.com-

PTUN Jakarta No.242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT tanggal 14 November 2018 telah memutuskan sengketa proses Pemilu antara Oesman Sapta Odang (OSO) dengan KPU akibat dicoretnya OSO dari Daftar Calon Tetap (DCT).

PTUN Jakarta pada pokoknya telah memutuskan yang memerintahkan KPU untuk menerbitkan keputusan yang baru yang mencantumkan nama OSO dalam DCT.

“Dengan Putusan PTUN Jakarta No. 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT tanggal 14 November 2018, maka tidak ada pilihan hukum lain bagi KPU kecuali mencantumkan OSO dalam DCT DPD RI,” demikian dikatakan Tohadi, Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA), Minggu (18/11/2018).

Sebab, kata Tohadi, sesuai ketentuan Pasal 471 ayat (7) dan (8) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Putusan PTUN adalah bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Dan KPU wajib menindaklanjuti Putusan PTUN paling lama 3 (tiga) hari kerja.

Menurut Tohadi, lalau Putusan MA No. 65 P/HUM/2018 tanggal 25 Oktober 2018 yang lalu secara hukum tidak dapat mengembalikan OSO dalam DCT.”Hal itu, karena Putusan MA No. 65 P/HUM/2018 baru berlaku sejak diputuskan, yaitu tanggal 25 Oktober 2018, sedangkan KPU mencoret nama OSO dari DCT telah terjadi pada tanggal 20 September 2018 dan petitum yang meminta agar Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum itu ditolak oleh MA,” ujarnya.

BACA JUGA  Menyekap Dua Warga Sebubus, Asisten Direktur PT Andira Agro Diperiksa 

Maka, lanjut Tohadi, segala akibat hukum yang ditimbulkan karena berlakunya Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 sebelum ada Putusan MA tanggal 25 Oktober 2018 itu dianggap tetap ada,”
hanya saja menyusul adanya PTUN Jakarta No. 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT tanggal 14 November 2018, soal hukumnya sudah selesai. Secara normatif, sudah berakhir dan OSO wajib dicantumkan dalam DCT,” tambahnya.

Namun demikian, Tohadi memberikan catatan, dilihat secara teoritik, baik Putusan MA No. 65 P/HUM/2018 tanggal 25 Oktober 2018 maupun PTUN Jakarta No. 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT tanggal 14 November 2018 ada konflik hukum dengan Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018.

“Sementara di sisi lain, menurut MK bahwa ketentuan yang melarang pengurus (fungsionaris) partai mendaftar calon anggota DPD itu mengikat bagi mereka yang sedang dalam proses pendaftaran anggota DPD pada Pemilu 2019,” jelas advokat pada kantor advokat AdiKa Law Firm itu.

BACA JUGA  Wamenpar Ni Luh Puspa Tekankan Pentingnya Kebersihan untuk Pariwisata Berkualitas

Sedangkan bagi MA, lanjutnya, dalam Putusan MA No. 65 P/HUM/2018 tanggal 25 Oktober 2018 bahwa Putusan MK yang kemudian ditindaklanjuti dalam Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 dinilai telah diberlakukan oleh KPU secara berlaku surut (retroactive) yang bertentangan dengan asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dengan demikian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Demikian juga menurut Putusan PTUN Jakarta No. 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT tanggal 14 November 2018 bahwa Putusan MK berlaku prospektif atau berlaku ke depan, sehingga jika terdapat Putusan MK yang memunculkan adanya persyaratan baru di tengah-tengah suatu proses termasuk di tengah-tengah proses tahapan pemilu maka persyaratan tersebut harus berlaku prospektif atau tidak boleh berlaku surut, sehingga proses penetapan yang membebankan suatu persyaratan baru harus dianggap berlaku untuk pemilu selanjutnya dan bukan untuk Pemilu Tahun 2019,” pungkasnya.

Reporter : Achmad Munif
Editor : Mella